Search

Membantu Menemukan Dirinya Sendiri



Membantu Menemukan Dirinya Sendiri


Dalam salah satu acara Maiyah, terdapat pertanyaan bagaimana cara yang paling tepat bagi kita sebagai seorang orang tua, untuk memulai mengantar sang putra menemukan kedewasaannya dan mengingat kembali perjanjiannya dengan Tuhan, dan mengingat tugas paling esensi dari seorang manusia?
Mas Sabrangpun menjawab dengan konsep awal dulu bahwa poin terpenting dari buah khuldi itu bukanlah cobaan. Saya melihat buah khuldi itu adalah hadiah dari Tuhan. Hadiahnya begini, karena dengan buah khuldi, Nabi Adam AS punya sesuatu yang baru yang namanya pilihan. Karena kalau kamu di surga, kamu tak pernah melihat yang buruk, tidak pernah melihat kejelekan, kamu tidak ada pilihan untuk melakukan. Ya sudah cuma enak-enak saja, senang-senang saja, dan kamu tidak akan pernah bisa membuktikan kepada Tuhan bahwa kamu benar-benar tahu.
Ketika Nabi Adam AS turun ke bumi, nomer satu adalah bagaimana dia membuat pilihan dalam perjalanan hidupnya untuk kembali ke Tuhan. Dia dilatih dengan pilihan, makanya juga diturunkan iblis. Agar seimbang antara pilihan negatif dan pilihan positif. Seimbang antara yang kanan dan yang kiri. Sehingga PR dari manusia adalah melakukan pilihannya. Bagaimana dia bisa membuat pilihan, dia hidup di dunia, dia mengalami semua yang disebut sebagai materialisme. Materialisme tidak lain tidak lebih hanyalah salah satu cara untuk mendapatkan experience, mendapatkan pengalaman dalam hidup. Ketika kamu mendapatkan pengalaman dalam hidup, kamu mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan esensi yang namanya ilmu. Karena ilmu tidak lakon nek kowe ora laku.
Laku itu adalah ketika kita hidup di dunia materi, sehingga kita dites terus dengan pilihan-pilihan hidup kita. Seperti jaman Nabi Adam dulu dites dengan pilihannya. Kita bisa membuktikan kepada Tuhan bahwa pilihan kita memang menuju Tuhan.
Jadi materialisme sangat perlu, yang membuat dia jebakan adalah manusia menganggap itu yang paling diperlukan. Padahal itu hanya alat, untuk kita mengalami. Jadi orang sekarang berangkat dengan material itu pengen, bukan butuh.
Seperti ketika kamu pengen ilmu, bukan butuh ilmu, ilmunya akan jadi jebakanmu itu. Itu sangat berbahaya, semua yang urusannya karena pingin, itu mengandung jebakan yang lebih besar ketika butuh. Kenapa ilmu itu kelakone kanti laku, karena kamu butuh akan ilmu tersebut.
Misal gini, kamu tahu caranya bikin SIM, tapi kamu gak pernah punya motor, pengetahuanmu itu takkan berguna. Kalau kamu butuh SIM karena kamu punya motor, kamu tahu persis alasan kenapa kamu butuh ilmu pengetahuan yang namanya cara membuat SIM.
Hidup adalah interface, hidup adalah windows, hidup adalah cara untuk kita untuk mendalami ilmu tersebut dengan mengalami.

Dengan sudut pandang itu, kemudian saya berangkat ke anak itu tadi.
Setau saya, ketika nyawa akan masuk ke manusia, sebelum itu ada perjanjian, banyak perjanjian, entah itu perjanjian tugas dia terhadap sekitarnya, atau tugas dia terhadap dirinya.
Karena tidak mungkin ada orang ditugasi sebelum dia tahu persis siapa dirinya. Kalau kamu tidak punya mobil, tidak punya truk, tidak punya bus, terus kamu tiba-tiba ditugasi nyopir mobil, truk, bis, ya kamu tidak bisa apa-apa. Dia (nyawa anak) hanya mengerjakan tugas ketika dia sudah tahu siapa dirinya.
Makanya tidak semua orang menjadi Nabi, tidak semua orang menjadi Rasul, karena banyak orang yang tidak benar-benar tahu siapa dirinya. Salah satu kenapa nyawa turun menjadi anak kita, itu ada perjanjian. Jadi tidak hanya sekedar kebetulan dia menjadi anak kita. Itu memang karena perjanjian dia butuh menjadi anak kita. Kenapa, karena dia membutuhkan orang tua seperti kita.
Dia membutuhkan pengalaman memiliki orang tua seperti itu. Jadi tugas orang tua memang mendidik anaknya, bukan terus melepaskan ini titipan Tuhan, ya sudah terserah-serah Tuhan. Tidak bisa begitu. Dia spesifik menjadi anak kita, karena dia butuh pengetahuan dari kita.
Yang jebakannya di sini adalah kita memaksakan apa yang kita ketahui. Yang menurut saya harus kita lakukan pada anak adalah mendidikkan kepada anak limit pengetahuan dan pemahaman yang kita ketahui. Sehingga anak tidak harus mengalami ilmu yang sudah kita alami sepanjang hidup. Jadi dia bisa meneruskan ilmu tersebut.
Karena sudut pandangnya itu, kita tidak pernah ngomong bahwa yang benar itu gini, bukan gitu, tetapi yang benar adalah setau bapak yang benar itu kaya gini. Jadi selalu ada pintu untuk dia menemukan dirinya sendiri. Karena esensi dari pendidikan adalah membebaskan, tapi kalau dia tidak punya cara dasar berfikir, kita juga gagal sebagai seorang orang tua.
Karena si anak nyawa ini memilih jadi anak kita sendiri karena dia ingin belajar dari kita e.
Nyawa anak memilih menjadi anak dari orang tua itu karena si anak menyadari tugas dia di dunia seperti ini. Jadi nyawa anak yakin bahwa orang tua itu bisa mengarahkan nyawa anak menjadi tugas dia ketika berada di dunia.
PRnya tidak harus selalu pada lingkungannya, kadang juga PRnya pada diri sendiri. Ktia tidak bisa memastikan bahwa nyawa itu berperan untuk masyarakatnya, atau untuk orang sedunia, atau untuk dirinya sendiri, atau untuk siapa, kita belum tahu karena nyawa itu harus mencari tahu sendiri. Kita harus mencari sendiri, sebelum bilang PR kita keluar, harus tahu dirinya sendiri dulu.
Poin paling penting adalah bagaimana kita benar-benar terbuka dengan apa yang namanya pengalaman, dan mengambil hikmah pada setiap pengalaman yang terjadi, dan membuat keputusan-keputusan yang benar pada setiap jalannya. Mana keputusan yang benar, itu kita tidak akan pernah bisa tahu sampai kita sudah sampai kepada ilmunya. Karena tidak ada keputusan yang benar dan salah.
Misal gini, kita memilih untuk masuk neraka, mau kemana setelah itu, lha sama saja kan ke gusti Allah. Masak kita ke tetangganya gusti Allah. Pasti juga nanti baliknya ke Tuhan, cuman nanti jalannya lebih tidak efektif dari pada lewat jalan surga.
Bagaimana kita mendidik anak, kita mendidik anak dengan membebaskannya. Bagaimana kita membebaskannya, kita membebaskannya dengan pengetahuan kita. Dia tahu pilihan tentang pengetahuan, dia tahu limitasi tentang pengetahuan kita, dia tahu tentang identitas kita, yang menurut kita benar atau salah, yang menurut kita baik atau buruk, dan dia nanti akan punya identitas sendiri. Dia nanti akan punya caranya sendiri.
Makanya manusia itu kelahiran tidak hanya sekali. Kelahiran manusia ada dua kali, kelahiran pertama yang kita lupa akan pilihan kelahiran, yaitu ketika lahir, dunianya masih dari orang tuanya. Dia belajar belajar belajar, ketika masih masuk remaja, pasti goyah. Kenapa karena dia berusaha memisahkan dunianya dengan dunia orang tuanya. Dia mulai membangun believe systemnya sendiri, dia mulai membangun benar salahnya sendiri, dia mulai mencari. Terus dia mencari sampai umur dua puluh lima. Ketika di usia dua puluh lima, dia merasa menjadi orang yang paling tahu sedunia.
Setelah itu runtuh lagi, tidak tahu apa-apa saya ternyata, dan dia berangkat belajar lagi. Peran orang tua di usia ini semakin sedikit. Berlanjut dari usia dua puluh lima, dia kemudian hampir menemukan dirinya sendiri, menemukan gumpalannya, kemudian dia lahir dan menemukan pilihan pengetahuannya sendiri ketika umur empat puluh tahun. Empat puluh tahun adalah ketika Nabi diangkat, ketika life, big and effort. Usia itu adalah kelahiran dengan pilihan pemahaman kita, disitu mulai terbuka tugas kita terhadap alam semesta, masyarakat, lingkungan sekitar. Mulai terlihat tugas, karena kamu sudah menemukan kelahiranmu sendiri.
Proses itu memang berlapis-lapis dan panjang. Dan yang bisa orang tua lakukan adalah merefleksikan perjalanannya, bukan memaksakan pemahamannya. Jadi salah satu referensi yang dipercaya oleh anaknya, salah satu referensi saja, bukan hukum.
Itu adalah sudut pandang Mas Sabrang tentang anak. Jangan lupa si anak juga memilih menjadi anak kita. Berarti kita punya tanggung jawab juga untuk menyampaikan dunia kita, tanpa memberi kesan bahwa itu adalah kebenaran yang sejati. Tetapi tetap memberi tahu bahwa yang kita fahami adalah yang kita fahami. Kamu belajar dari pemahamanmu untuk menemukan pemahamanmu dan menemukan dirimu sendiri.
Mendidik tanpa membatasi, menjadi orang tua adalah membebaskan anaknya untuk menemukan dirinya sendiri.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Membantu Menemukan Dirinya Sendiri"

Posting Komentar