Psikososial
oleh Erik Erikson
Erik Erikson (1950, 1963) mengusulkan sebuah teori psikoanalitik tentang
pengembangan psikososial yang terdiri dari delapan tahap sejak masa
kanak-kanak sampai dewasa. Selama setiap tahap, orang tersebut mengalami krisis
psikososial yang dapat memiliki hasil positif atau negatif untuk pengembangan
kepribadian.
Menurut Erikson, ego berkembang karena berhasil menyelesaikan krisis
yang secara khas bersifat sosial. Ini melibatkan membangun rasa percaya pada
orang lain, mengembangkan rasa identitas di masyarakat, dan membantu generasi
berikutnya mempersiapkan masa depan.
Erikson memperluas pemikiran Freud dengan memusatkan perhatian pada
karakteristik adaptif dan kreatif dari ego dan memperluas konsep tahap
pengembangan kepribadian untuk mencakup keseluruhan umur.
Seperti Freud dan banyak pemikir lainnya, Erik Erikson
mempertahankan kepribadian itu berkembang dalam urutan yang telah ditentukan,
dan dibangun di atas setiap tahap sebelumnya. Ini disebut prinsip epigenik.
Hasil dari 'jadwal pematangan' ini adalah seperangkat keterampilan dan
kemampuan hidup yang terpadu dan berfungsi bersama dalam
individu otonom.
Tahapan Psikososial
Teori perkembangan psikososial Erikson (1959) memiliki delapan tahap yang berbeda, terbagi
dari lima tahap
sampai usia 18 tahun dan tiga tahap pada usia setelahnya. Erikson mengemukakan bahwa masih banyak
ruang untuk pertumbuhan dan perkembangan lanjutan sepanjang hidup seseorang.
Erikson menekankan banyak hal pada masa remaja, merasa itu adalah tahap penting
untuk mengembangkan identitas seseorang.
Seperti Freud, Erikson berasumsi bahwa krisis
terjadi pada setiap tahap perkembangan. Bagi Erikson (1963), krisis ini bersifat
psikososial karena melibatkan kebutuhan psikologis individu (yaitu psiko) yang
bertentangan dengan kebutuhan masyarakat (yaitu sosial).
Menurut teori, ketika
berhasil menyelesaikan setiap tahap, menghasilkan kepribadian yang sehat dan memperoleh kebajikan dasar. Kebajikan dasar adalah kekuatan karakteristik yang bisa digunakan ego
untuk mengatasi krisis selanjutnya.
Kegagalan untuk berhasil menyelesaikan sebuah
tahapan, dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk menyelesaikan tahap
lebih lanjut, dan oleh karena itu kepribadian dan rasa diri lebih tidak sehat.
Tahapan ini, bagaimanapun, dapat diselesaikan dengan sukses di lain waktu.
1. Kepercayaan vs. Ketidakpercayaan
Apakah dunia ini tempat yang aman atau penuh
dengan kejadian tak terduga dan kecelakaan yang menunggu untuk terjadi? Krisis
psikososial pertama Erikson terjadi pada tahun pertama atau lebih kehidupan
(seperti tahap perkembangan psikoseksual Freud). Krisis adalah salah satu
kepercayaan vs ketidakpercayaan.
Selama tahap ini, bayi tidak yakin tentang
dunia tempat mereka tinggal. Untuk mengatasi perasaan ketidakpastian ini, bayi
melihat ke arah pengasuh utama mereka untuk stabilitas dan konsistensi
perawatan.
Jika perawatan yang diterima bayi konsisten,
dapat diprediksi dan dapat diandalkan, mereka akan mengembangkan rasa percaya
yang akan membawa mereka ke hubungan lain, dan mereka akan merasa aman, bahkan ketika diancam.
Sukses di tahap ini akan mengarah pada kebajikan akan harapan. Dengan mengembangkan rasa percaya diri, bayi dapat
memiliki harapan bahwa ketika timbul krisis baru, ada kemungkinan nyata bahwa
orang lain akan berada di sana sebagai sumber dukungan. Gagal memperoleh
kebajikan harapan akan mengakibatkan berkembangnya rasa takut.
Misalnya, jika perawatannya kasar atau tidak
konsisten, tidak dapat diprediksi dan tidak dapat diandalkan, maka bayi akan
mengembangkan rasa tidak percaya dan tidak akan memiliki kepercayaan pada dunia
di sekitar mereka atau kemampuan mereka untuk mempengaruhi kejadian.
Bayi ini akan membawa rasa ketidakpercayaan
mendasar terhadap hubungan-hubungan lain. Hal ini dapat menyebabkan
kegelisahan, ketidakamanan yang meningkat, dan perasaan tidak percaya di dunia
di sekitar mereka.
Sesuai dengan pandangan Erikson tentang
pentingnya kepercayaan, penelitian oleh Bowlby dan Ainsworth telah menjelaskan
bagaimana kualitas “pengalaman awal”
dari keterikatan
dapat mempengaruhi hubungan dengan orang lain di kemudian hari.
2. Otonomi vs. Malu dan Keraguan
Anak sedang berkembang secara fisik dan
menjadi lebih mobile. Antara usia 18 bulan dan tiga tahun, anak-anak mulai
menegaskan kemandirian mereka, dengan berjalan menjauh dari ibu mereka, memilih
mainan mana yang harus dimainkan, dan membuat pilihan tentang apa yang ingin
mereka pakai, makan, dll.
Anak tersebut menemukan bahwa ia memiliki
banyak keterampilan dan kemampuan, seperti mengenakan pakaian dan sepatu,
bermain dengan mainan, dan sebagainya. Keterampilan semacam itu menggambarkan
rasa mandiri dan otonomi anak. Erikson menyatakan bahwa sangat penting agar
orang tua membiarkan anak-anak mereka mengeksplorasi batas kemampuan mereka
dalam lingkungan dan bersifat toleran terhadap kegagalan.
Misalnya, daripada mengenakan pakaian pada anak, orang tua yang mendukung harus memiliki kesabaran untuk membiarkan
anak tersebut mencoba sampai mereka berhasil atau meminta bantuan. Jadi, orang
tua perlu mendorong anak untuk menjadi lebih mandiri sekaligus melindungi anak
sehingga terhindar dari kegagalan.
Diperlukan keseimbangan yang rumit dari orang
tua. Mereka harus berusaha untuk tidak melakukan segalanya untuk anak itu, tapi
jika anak tersebut gagal dalam tugas tertentu, mereka tidak boleh mengkritik
anak tersebut karena kegagalan dan kecelakaan. Tujuannya harus
"mengendalikan diri tanpa kehilangan harga diri" (Gross, 1992).
Sukses di tahap ini akan mengarah pada kebajikan akan
kehendak.
Jika anak-anak di tahap ini didorong dan
didukung dalam kemandirian mereka yang meningkat, mereka menjadi lebih percaya
diri dan aman dengan kemampuan mereka sendiri untuk bertahan di dunia.
Jika anak-anak dikritik, terlalu terkontrol,
atau tidak diberi kesempatan untuk menegaskan diri mereka sendiri, mereka mulai
merasa tidak cukup dalam kemampuan mereka untuk bertahan hidup, dan mungkin
kemudian menjadi sangat bergantung pada orang lain, tidak memiliki harga diri,
dan merasakan rasa malu atau ragu. dalam kemampuan mereka.
3. Inisiatif vs. Rasa Bersalah
Sekitar usia tiga tahun dan lanjut sampai usia lima tahun, anak-anak lebih sering menegaskan diri. Ini adalah tahun-tahun dengan
perkembangan sangat pesat dalam kehidupan anak-anak. Menurut Bee (1992), ini adalah "waktu
kekuatan tindakan dan perilaku yang orang tua anggap agresif".
Selama periode ini, fitur utama melibatkan
anak untuk berinteraksi secara teratur dengan anak-anak lain di sekolah. Inti
tahap ini adalah bermain, karena ini memberi anak-anak kesempatan untuk
mengeksplorasi keterampilan interpersonal mereka melalui kegiatan yang inisiatif.
Anak-anak mulai merencanakan kegiatan, membuat
permainan, dan memulai kegiatan dengan orang lain. Jika diberi kesempatan ini,
anak mengembangkan rasa berinisiatif dan merasa aman dalam kemampuan mereka
memimpin orang lain dan mengambil keputusan.
Sebaliknya, jika kecenderungan ini diliputi,
baik melalui kritik atau kontrol, anak mengembangkan rasa bersalah. Mereka
mungkin merasa menyusahkan orang lain dan karena itu akan tetap menjadi
pengikut, kurang inisiatif sendiri.
Anak tersebut mengambil inisiatif yang sering
orang coba hentikan untuk melindungi anak tersebut. Anak akan sering melangkahi
aturan itu dengan kekuatannya, dan bahayanya adalah
bahwa orang tua akan cenderung menghukum anak dan membatasi inisiatifnya yang terlalu banyak.
Pada tahap inilah anak akan mulai mengajukan
banyak pertanyaan karena haus akan pengetahuan
yang tumbuh. Jika
orang tua memperlakukan pertanyaan anak sebagai hal sepele, gangguan atau aspek
memalukan atau aspek lain dari perilaku mereka sebagai ancaman, maka anak
tersebut mungkin memiliki perasaan bersalah karena "menjadi
gangguan".
Terlalu banyak rasa bersalah bisa membuat anak
lengah untuk berinteraksi dengan orang lain dan bisa menghambat kreativitas
mereka. Tentu saja ada rasa bersalah; Jika tidak, anak tidak akan tahu
bagaimana melatih diri atau memiliki hati nurani.
Keseimbangan yang sehat antara inisiatif dan
rasa bersalah itu penting. Sukses di tahap ini akan mengarah pada kebajikan tujuan.
Referensi
:
Bee,
H. L. (1992). The developing child. London:
HarperCollins.
Erikson,
E. H. (1950). Childhood and society. New York:
Norton.
Erikson,
E. H. (Ed.). (1963). Youth: Change and challenge. Basic
books.
Erikson,
E. H., Paul, I. H., Heider, F., & Gardner, R. W. (1959). Psychological
issues (Vol. 1). International Universities Press.
Gross,
R. D., & Humphreys, P. (1992). Psychology: The science of mind and behavior.
London: Hodder & Stoughton.
https://www.simplypsychology.org/Erik-Erikson.html
(diakses tanggal 23 September 2017)
Belum ada tanggapan untuk "Psikososial oleh Erik Erikson"
Posting Komentar