Search

Sudut Pandang Kebenaran dan Menerima Diri Sendiri



Sudut Pandang Kebenaran dan Menerima Diri Sendiri


Dalam kegiatan maiyah kali ini, ada seseorang bertanya kepada Mas Sabrang bahwa banyak orang di sekitarnya yang selalu menganggap salah setiap hal yang dia lakukan. Pertanyaannya adalah bagaimana penyikapan yang sebaiknya dia lakukan.
Mas Sabrangpun merespon pertanyaannya dengan kalimat pertama yang sudah cukup menjawab sebenarnya, yaitu sudut pandang mencari kesalahan itu gampang.
Menurut anda, ketika kepala anda dijatuhi besi atau kapas, maka kepalanya yang sakit karena dijatuhi besi. Betul memang, tapi apakah kalian pernah bertanya ke besi, apakah besi tersebut sakit juga atau tidak.
Tidak pernah kan?
Tidak tahu jawabannya kan?
Tapi kok kita menyimpulkan kepalanya yang paling sakit. Anda juga tidak tanya kapasnya kan, sakit atau tidak si kapas.

Karena kita sebagai manusia, maka sudut pandang kita adalah sudut pandang manusia. Dan kita tidak tahu besi dan kapas juga merasakan sakit atau tidak, karena kita tidak berada pada sudut pandang besi ataupun kapas.
Maksud saya di sini adalah, anda perlu untuk mencari anglenya lagi, saya juga bisa jika hanya mencari anglenya lagi.
Kamu mencari kesalahan dari semua hal itu sangat bisa. Bahkan bicara Tuhan salah juga bisa. Sholat dikatakan salah juga bisa.
Tapi kan apa gunanya mencari kesalahan, yang saya ajak disini kan ayo mencari sudut pandang benarnya dari mana. Sehingga kita bisa belajar sudut pandang itu.
Misalnya ada petani sedang capek-capeknya ngarit, kemudian Pak Menteri berkata produktivitas perlu ditingkatkan. Petani sebenarnya berhak marah kepada Pak Menteri karena tidak merasakan capeknya ngarit. Tapi marah itu bukan tindakan yang terbaik. Tindakan yang baik adalah petani tersebut memberi tahu ke Bapak Menteri bahwa pak saya itu capek lho pak bekerja itu, jadi jangan bilang produktivitas ditingkatkan.
Harapannya ketika petani tersebut menjelaskan ke Pak Menteri, Dijelaskan agar Pak Menteripun juga belajar, jadi yang dicari adalah pertumbuhan bersama.
Kalau kamu pakai topeng di internet, isinya cuma berkata kasar, bukan saling menumbuhkan. Karena kita Cuma berkata kasar, kemudian lari, berkata kasar kemudian lari. Jadi tidak ada yang bisa ditumbuhkan.
Yang kita cari disini adalah mencari pertumbuhan kebaikan bersama. Dan itu tidak bisa dilakukan ketika semua orang pengecut menutupi mukanya. Itukan sudut pandang benarnya disitu. Kalau pengen mencari sudut pandang salahe ya banyak mas. Gampang banget mencari sudut pandang kesalahan itu.
Prinsip utamanya adalah
Coba mencari kebenaran dari sudut pandang yang lain. Cari dan temukan sudut pandang kebenaran orang lain, juga cari dan temukan sudut pandang kebenaran dirimu. Sehingga lebih lengkap kebenarannya. Jadi tidak menyalahkan kebenaran orang lain. Karena dia pasti punya tujuan sendiri.
Tidak mungkin ada orang bilang bahwa dia tahu pasti bahwa dia salah. Karena dia tahu dia benar menurut dia, maka dia mengatakan apa yang dia katakan. Kita harus tahu kebenaran dia, biar kita tahu kenapa dia mengatakan hal itu, sehingga ilmu kita lebih luas.
Harapan kita adalah mencari apa yang benar, bukan mencari siapa yang benar.
…..…………………………………
Kemudian pertanyaan kedua adalah, kenapa di publik lebih nyaman berbicara dari pada di rumah?
Jawaban dari mas Sabrang adalah karena di rumah, istri tahu semua kekuranganmu. Ini kemudian saya mau menanyakan tentang akar bahwa kenapa kamu berbicara. Kamu berbicara karena “AKU”, atau karena kamu butuh berbicara.
Kalau kamu memang butuh berbicara, tidak ada “AKU” disitu. Dan urusan kekurangan opo, itu bukan siapa yang bicara kok, itu tentang apa yang dibicarakan kok.
Ketika kamu masih di “AKU”. Kamu akan khawatir dengan semua ke”AKU”anmu.
Untuk melewati itu, ada dua cara.
Satu tidak mempedulikan “AKU”nya.
Nomor dua, terima “AKU” apa adanya.
Aku harus menerima aku apa adanya.
Jangan kita menghilangkan “keburukan-keburukan” kita.
Itulah yang membuat kita untuk sulit tumbuh, menghambat tumbuh.
Semua kesalahanmu di belakang, itu memberi pelajaran untuk menjadi kamu sekarang.
Kalau kamu tidak menghargai keburukanmu yang dulu (bukan diulangi), tetapi dihargai (diakui sebagai bagian bahwa dia adalah bagian dari aku).
Lho aku salah memang. Ya memang salah, tapi tidak masalah. Kesalahan itu bukan ditutupi atau dibenar-benarkan.
Salah ya salah.
Dihargai itu adalah bagian dari dirimu yang tumbuh untuk menjadi aku yang sekarang
Ketika kamu sudah bisa menerima kamu apa adanya, percaya diri ini akan tumbuh.
Kamu menerima dirimu sendiri, kamu tidak malu dengan dirimu sendiri, kamu tidak malu sama orang lain. Otomatis percaya dirimu akan tumbuh. Dan kamu telah menerima dirimu apa adanya, dan ketika orang lain melihat kesalahanmu dan kamu tidak malu karena kamu mengakui bahwa aku memang salah. Dan itu merupakan caramu untuk belajar, untuk pada tahap seperti ini.
Aku memang salah, dan aku menerima kesalahanku.
Bahwa kamu menganggapku hina karena kesalahanku, ya sudah.
Itu merupakan resiko dari kesalahanku yang dulu memang.
Jadikan itu pelajaran berikutnya untuk memahami hinaan dari orang lain.
Justru dengan begini dirimu akan tumbuh terus.
Terima dirimu apa adanya, mau benar mau salah, mau bodoh, dan segala macamnya.
Misalkan kita punya dua teman, keduanya hidungnya pesek. Yang satu sangat tidak pede, yang satu tidak peduli dengan pesek hidungnya. Dan kamu akan lebih nyaman kepada yang cuek saja dari pada yang tidak pede dengan hidungnya. Karena dia sudah menerima dengan dirinya sendiri pesek dan tidak masalah. Dan orang yang tidak pede dengan peseknya ini akan sering melihat hidungnya bahwa dia pesek, dan tidak menerima dirinya apa adanya. Kuncinya adalah kita harus menerima diri kita apa adanya.
Kalau dari teori psokologi.
Kan kalau kamu sedih, kalau kamu patah hati, kalau kamu menderita. Itu akan terobati kalau kamu sudah sampai pada tahapan menerima apa adanya.
Penulis coba jabarkan tentang Model Kübler-Ross, yang juga dikenal dengan sebutan Lima Tahapan Kedukaan (The Five Stages of Grief), pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Elisabeth Kübler-Ross pada bukunya tahun 1969, On Death and Dying. Tahapan-tahapan, yang lebih dikenal dengan singkatannya dalam bentuk DABDA, meliputi :
  1. Penyangkalan (Denial) — "Saya merasa baik-baik saja."; "Hal ini tidak mungkin terjadi, tidak pada saya."
    Penyangkalan biasanya merupakan pertahanan sementara untuk diri sendiri. Perasaan ini pada umumnya akan digantikan dengan kesadaran yang mendalam akan kepemilikan dan individu yang ditinggalkan setelah kematian..
  2. Marah (Anger) — "Kenapa saya ? Ini tidak adil!"; "Bagaimana mungkin hal ini dapat terjadi pada saya?"; "Siapa yang harus dipersalahkan?"
    Ketika berada pada tahapan kedua, individu akan menyadari bahwa ia tidak dapat senantiasa menyangkal. Oleh karena kemarahan, orang tersebut akan sangat sulit untuk diperhatikan oleh karena perasaan marah dan iri hati yang tertukar.
  3. Menawar (Bargaining) — "Biarkan saya hidup untuk melihat anak saya diwisuda."; "Saya akan melakukan apapun untuk beberapa tahun."; "Saya akan memberikan simpanan saya jika..."
    Tahapan ketiga melibatkan harapan supaya individu dapat sedemikian rupa menghambat atau menunda kematian. Biasanya, kesepakatan untuk perpanjangan hidup dibuat kepada kekuasaan yang lebih tinggi dalam bentuk pertukaran atas gaya hidup yang berubah. Secara psikologis, individu mengatakan, "Saya mengerti saya akan mati, tetapi jika saja saya memiliki lebih banyak waktu..."
  4. Depresi (Depression) — "Saya sangat sedih, mengapa perduli dengan lainnya?"; "Saya akan mati .. Apa keuntungannya?"; "Saya merindukan orang saya cintai, mengapa melanjutkan?"
    Pada tahapan keempat, penderita yang sekarang, menolak dibesuk dan menghabiskan banyak waktu untuk menangis dan berduka. Proses ini memberikan kesempatan kepada pasien yang sekarat untuk memutus hubungan dengan sesuatu yang dicintai ataupun disayangi. Tidak disarankan untuk mencoba menghibur individu yang berada pada tahapan ini. Ini merupakan waktu penting untuk berduka yang harus dilalui.
  5. Penerimaan (Acceptance) — "Semuanya akan baik-baik saja."; "Saya tidak dapat melawannya, Saya sebaiknya bersiap untuk hal itu."
    Ini merupakan tahapan terakhir, individu tiba pada kondisi sebagai mahluk hidup atau kepada yang dicintainya.

Lanjut lagi ke pembahasan Mas Sabrang………..
Sudah selesai sedihnya ketika kamu sudah menerima apa adanya.
Kalau sudah tahu.
Maka langsung saja, saya terima diriku apa adanya, aku memang seperti ini, ya sudah.
Yang penting, yang kemarin salah-salah itu jadi pelajaran buat aku untuk sekarang dan kedepannya. Sudah gitu aja.
Semua orang tidak pernah luput dari kesalahannya. Dan semua orang, sebenar-benarnya seseorang, dia juga bisa dicari kesalahannya.
Ketika kamu sholat malam, istrimu bisa saja bilang “eee….. menjilat tuhan ini, ada butuhnya ini”
Bisa jadi negatif lho sholat malam itu.
Apapun yang kamu lakukan bisa dianggap salah oleh orang lain.
Masalahnya adalah bukan ketika kamu dianggap salah, masalahnya adalah ketika kamu sangat peduli dan itu menjadikan bobot yang berat dalam perjalananmu.
Ini hidupmu, yang tahu benar salahnya adalah kamu, kok kamu peduli dengan omongan orang. Orang-orang pasti ngomong. pasti itu.
Tujuannya adalah bagaimana kita bisa menerima diri kita sendiri.


Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Model_K%C3%BCbler-Ross



Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sudut Pandang Kebenaran dan Menerima Diri Sendiri"

Posting Komentar