Search

Ekosistem dan Makna Kebahagiaan



Ekosistem dan Makna Kebahagiaan


Dalam salah satu acara Maiyah, Mas Sabrang mendapatkan pertanyaan bahwa apakah kreatifitas itu sebenarnya ada atau tidak. Mengingat pembajakan lagu sudah ada dimana-mana dan semakin mudah. Bahkan ada banyak omongan bahwa semakin pandai meniru, sekarang dipandang semakin kreatif.
                Jawaban dari Mas Sabrang adalah
Kalau saya melihat antara kreatifitas…… produksi, konsumsi, konsumen, produsen, dan semua lingkaran itu. Itu ada dalam sebuah ekosistem yang jelas. Ketika ekosistemnya tidak sehat, dia pasti lama-kelamaan akan membawa atau mematikan satu sama yang lain.
Yang terjadi adalah, kita tidak membangun ekosistem, yang kita bangun adalah egosistem.

Ketika yang kita bangun adalah egosistem, gambarnya seperti piramida, ada yang di atas, dan ada yang dibawah. yang akan terjadi adalah saling menekan. Kalau ekosistem, gambarnya adalah seperti lingkaran, dimana semua saling membutuhkan satu sama lainnya. Itu (dalam ekosistem) satu mati lainnya mati. Karena memang saling menjaga dengan peraturan dan fairness (kejujuran, keadilan, kewajaran) yang jelas.
Salah satu contoh adalah
Kenapa PH PH televisi di Indonesia, acara-acaranya tidak kreatif, kok seperti ini saja ya acaranya?
Karena memang ekosistemnya tidak menginginkan untuk itu.
Lebih masuk akal untuk TV daripada dia mengambil acara dari luar atau membuatkan orang. Dia lebih baik membuat sendiri, karena sudah punya alatnya, yang siaran saya sendiri. Kan lebih ekonomis, dan jelas. Ngapain dari luar. Akibatnya orang-orang yang disekitarnya yang punya kratifitas di bidang film, acara TV, sinetron dan segala macam jadi mati, karena tidak ada tempat untuk mengeluarkan.
Misalnya pemerintah membuat sedikit peraturan bahwa supply dan demand tidak boleh ada dalam satu atap. Ini demand yang meminta adalah TV, supplynya tidak boleh TV, harus PH PH di sekitar yang menyediakan programnya. Dia (TV) hanya menyediakan syarat program, yang membuat adalah PH PH di sekitarnya.
Ketika ekosistem terjadi, efeknya adalah PH PH akan lomba kreatif. Gimana caranya saya membuat paling bagus dan bisa diterima dan murah, dan hasilnya banyak. Itu kreatif dan itu motif ekonomi. Tapi ekosistemnya berjalan, sehingga motif ekonominya terdorong untuk membangun satu sama yang lain.
Sekarang setengah mati orang membawa program ke TV. Oh acaramu bagus, kalau mau kamu bantu aku, kalau gak mau ya kamu buat sendiri. Selesai itu, ngapain ke sana Cuma setor ide.
Kamu udah dapet gagasannya kok.
Gagasan, kamu buat sendiri, satu episode, begini. Oh bagus ini, nanti saya pakai, mau bantu aku tidak, kalau tidak mau ya saya buat sendiri.
Mati dia, dan tidak ada lagi orang yang mau berfikir. Buat apa saya kreatif kreatif, orang endingnya juga dipakai seperti itu kok.
Dan pemerintah bisa membuat peraturan tentang supply dan demand tersebut. Pemerintah itu punya kekuatan untuk mengatur undang-undang.
Undang-undang itu dibuat seharusnya untuk membuat ekosistem.
Kalau kamu ingin membuat banyak ikan di sawah. Tidak Cuma bikin program ayo kita bikin program pembibitan di sawah, sudah.
Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah dia membuat ekosistem di situ. Tidak hanya mendorong orang untuk membibit ikan di sawah. Tapi bilang, ikannya saya bibiti, nanti hasilnya saya beli dan seterusnya.
Sehingga petani akan secara sadar tidak akan membeli bibit terus dan berpangku tangan. Tapi akan membuat itu sebagai sebuah jalan usaha, sehingga petani lebih kreatif juga. Sawahnya misalnya dapat ketambahan A B C dan segala macam. Pemerintah kan punya otoritas. Kalau tidak ada pemerintah yang melakukan ekosistem itu, maka kelompok-kelompok tani kecil yang melakukan perjanjian sendiri.
Wong sholeh kumpulono nek bahasane tombo ati.
Dimana dia sendiri di situ punya perjanjian disitu.
Gunanya perjanjian bukan untuk mengekang, tapi memastikan ekosistem hidup secara sehat, sehingga anak turunnya semakin makmur dan semakin baik.
…………..……………………………………..
Dalam dunia yang ideal, semua sadar perannya dan terjadi ekosistem.
Tapi secara tidak sadar, kita sebenarnya dijajah disitu.
Dan penjajahannya tidak dengan senjata atau yang semacamnya. Kita cuma di belokkan sedikit cara berfikir kita.
Bekerja bukanlah mencari kebahagiaan atau mencari kekayaan.
Saya pernah diceritakan
Ada seorang nelayan, sedang rokokan ngopi, terus leyeh-leyeh. Ada seorang pengusaha kemudian datang.
Terus pengusaha itu berkata ke nelayan “kamu kok pemalas seh, kamu seharusnya melaut, cari ikan di laut”
Nalayan menimpali “sudah, sudah, saya sudah melaut tadi, sekarang saya lagi santai.”
Pengusaha berkata lagi ”tidak bisa gitu”
Nelayan menjawab “terus gimana?”
“Kamu seharusnya bekerja lagi, cari ikan sebanyak-banyaknya, kemudian ditabung, nanti tabungannya kamu beri kapal lagi. Kapal nanti kamu punya anak buah, kamu kumpulkan lagi, kapalmu sangat banyak, dan kamu kaya raya. Setelah itu kamu bisa menikmati hidup.” Kata Pengusaha
Nelayan menjawab “kok lama banget ya. Saya merokok sekarang ini juga lagi menikmati hidup. Dan tidak perlu kaya raya dahulu untuk menikmati hidup.”
Itu simpel sebenarnya.
Tetapi kebanyakan kita berfikir bahwa pengusaha yang benar, dan nelayannya yang bodoh.
Padahal sekaya-kayanya orang itu, yang dicari adalah kebahagiaan hidupnya. Hidup itu mencari kebahagiaan, kemudian kita disingularkan, diberi sebuah konsep utama bahwa cara bahagia itu yang uangnya banyak, kalau tidak banyak maka tidak bisa bahagia.
Cuman seperti itu sebenarnya gesernya.
Contoh lain adalah ada seorang penjual ikan di pasar. Sebelum sampai pasar, dia ketemu orang yang mau membeli semua ikan yang ia jual. Pembeli itu akan membeli dengan harga yang sama seperti harga yang ia jual di pasar. Tetapi, penjual ikan itu tidak mau menjual semua ikannya ke pembeli tersebut.
Si penjual ikan itu bilang gini “jangan bapak, nanti saya jual apa dipasar, kalau ikannya sudah terjual semua.”
Bagi sebagian orang mungkin menganggap bahwa orang ini orang bodoh.
Tapi jangan terlalu cepat dalam menyimpulkan sesuatu.
Karena mungkin motif dia berjualan, bukan untuk hanya mencari untung.
Kebahagiaan yang dia dapat, tidak hanya pada keuntungan menjual ikan. Dia berfikir kalau ikan ini diborong, langganan saya yang biasanya nunggu saya jualan ikan gimana nanti, langganan saya akan kecewa.
Kan bisa juga. Banyak jalan untuk bisa menjadi bahagia. Dan kita semua ditutupi dengan jalan yang lain. Dikasih tahu bahwa bahagia itu cuma urusan cari uang.
Di Al-Qur’an juga sudah disebutkan, jika kamu mencari akhirat, maka kamu mendapatkan dunia. Kalau kamu mencari dunia, kamu belum tentu mendapatkan akhirat.
Kemudian kita disuntikkan, bahwa mendapatkan itu sama dengan kaya. Itu lho masalahnya.
Padahal tidak ada jaminan, orang kayanya seperti apa, orang kerenya seperti apa, kebahagiaan itu tidak ada jaminan.
Orang kayanya kaya apa, jika istrinya banyak, pasti dia pusing, ada saja masalahnya.
Orang yang tidak punya uang, aku tidak ngomong mesti bahagia, ya tidak. Yo ngelu, banyak hutangnya.
Masalahnya berbeda, tapi ketika pada garis obyektifnya bahwa kamu bahagia atau tidak, kamu menemukan tuhanmu dengan yang kau jalani atau tidak. Itu tergantung jalan yang kau jalani masing-masing, tidak ada tolak ukur bersama. Tidak ada tolak ukur dunia bahwa kamu harus kayanya segini untuk mencapai bahagia, tidak.
Contoh lagi
Nikah itu tujuannya bukan untuk mencari bahagia. Salah itu.
Ketika sebelum nikah itu, harus sudah menemukan bahagia di dalam dirimu sendiri, dan kamu sudah selesai dengan dirimu sendiri. Ketika menikah, urusannya adalah membagi dan memberi kebahagiaan.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Ekosistem dan Makna Kebahagiaan"

Posting Komentar